Kepulan asap
perlahan-lahan keluar dari belanga aluminium yang separuh permukaan luarnya
gosong. Di bawahnya tungku tanah liat berbahan bakar kayu, sempurna membuat api
merah dengan gurat kuning menyelimutinya. Beberapa kali, penutup belanga naik
turun, sambil melepaskan uap panas beraroma gurih. Dalam ruang kecil tak lebih
dari 3 kali 3 meter berdinding anyaman bambu, wanita gempal berparas datar
sedari tadi berlalu-lalang. Kulitnya tak lagi putih, dampak terpaan sinar matahari
sepanjang tahun. Senada dengan kain batik bercorak Maleo sempurna menyelimuti
bagian bawah tubuhnya, hitam lusuh akibat umur penggunaan kain yang entah kapan
dibelinya dan belum terganti sampai hari ini. Dirapikan tudung kepala sembari mengikat
dengan erat sarung batiknya, kini dia sudah berdiri di depan pintu rumah dengan
separuh bagian atasnya terbuka. Sesekali tatapannya mengikuti arah kendaraan bermotor,
tepat di depan pagar rumahnya.
Suasana perumahan di pantai |
Rejeki dari Kerang
Ina, begitulah
warga kampung memanggilnya. Ibu dari tiga orang anak bersuamikan buruh “pajak”
sawah. Ina sudah terlanjur menjalani hidunya sebagai wanita pencari kerang.
Hampir setiap hari, ketika air surut, Ina bersama warga lainnya seprofesi, mulai
menyusuri hutan mangrove dan daratan berpasir sepanjang lekukan garis pantai
Tambu-Piore. Di tangan kanannya, ember plastik hitam berisikan sebilah parang,
palu, karung kosong bekas pupuk KCl dan sebotol air minum selalu menemani
disetiap langkahnya. Dia selalu bergegas, menemukan tempat pencarian kerang dicelah-celah
hutan mangrove.
Parang menjadi
senjata utama dan berfungsi sebagai media pendeteksi sekaligus pengangkat
kerang ke permukaan. Cukup dengan menemukan garis sepanjang 2 senti di permukaan
pasir, maka parang akan diarahkan ke samping garis dan tidak butuh waktu,
sebongkah cangkang kerang pun sudah
berada di permukaan. Jika garis ini tidak tampak, pekerjaan pun semakin lama. Sepanjang
area pencarian, parang digunakan untuk membuat garis tidak menentu, sampai
kerang mengenai ujung parang sebelum akhirnya dipaksa keluar dari dalam
permukaan dengan satu cungkilan. Begitulah pekerjaan setiap hari Ina lakukan
hingga menjelang air pasang datang. Kerang-kerang hasil pencariannya dijual di
Pantai kepada pembeli langganannya sejak 7 tahun terakhir. Hanya beliaulah,
satu-satunya pembeli kerang di pantai. Bagi Ina, kehadiran pembeli kerang sudah
sangat membantu perekonomian keluarganya. Minimal untuk biaya hidup mereka
berempat dan juga biaya pendidikan anaknya, disamping penghasilan suaminya
ketika panen berlangsung setiap 3 bulan sekali.
Sebuah firasat
Hari ini, Ina
sengaja tidak mencari kerang. Penghasilan kemarin sudah cukup untuk bertahan
hidup 3 hari kedepan. Sejak pagi, Ina mempersiapkan makan siang berupa kerang
bercampur daun kelor berkuah santan buat keluarganya. Tetapi perasaannya terusik,
dengan banyaknya kendaraan berlalu-lalang di depan rumahnya. Baru kali ini,
sepanjang pukul 6 pagi tadi, hampir tak hentinya kendaraan tersebut melaju
diatas jalan berkerikil batu menuju pantai.
Seingat Ina, tidak
ada pesta hajatan di pesisir seperti biasanya jika banyak kendaraan yang
berlalu-lalang di depan rumahnya. Rasa penasaran Ina semakin meningkat. Ina
kembali memasuki rumah menuju dapur, memisahkan agak jauh jarak batang-batang
kayu yang separuhnya sudah terbakar dan memastikan nyala apinya sudah padam.
Kembali Ina bergegas, duduk di bale-bale depan rumahnya tepat di bawah pohon
mangga. Tatapannya sekarang sudah mulai fokus kembali ke jalan aspal berbatu
kerikil, diperhatikan dengan lamat, ternyata orang-orang berkendaraan tersebut,
dari kampung sebelah. Dia tetap menunggu, sambil berharap, ada pengendara yang
dikenalnya. Tiga puluh menit berlalu masih belum ada. Satu jam berlalu, juga masih
belum ada wajah familiar untuk hanya sekadar bertanya, mengapa mereka semua
tergesa-gesa menuju Pantai.
Kali ini, rasa
penasarannya benar-benar membucah saat suara nyaring,
“ngiuuung-ngiuuung-ngiuuung” terdengar dari kejauhan, suara itu pun semakin
dekat semakin jelas.
“Suara apakah
ini, aneh sekali” ungkap Ina dalam hati.
Tidak perlu
menunggu lama, mobil putih sumber suara itu lewat melintas, debu jalanan pun
terangkat, beberapa kerikil terlempar ke pinggir jalan. Di belakangnya,
iring-iringan mobil dan motor mengekor. Dramatis sekaligus terpana, Ina
menyaksikan pemandangan tak lazim di depan matanya, dan sekarang Ina pun tahu apa
yang terjadi. Cuma satu penasaran muncul saat ini.
“Siapakah dia?” orang di dalam mobil putih tersebut.
Sekarang, matahari
naik sepenggalan dan jam baru menunjukkan pukul 09.05 pagi. Segala ketergesaan
pagi tadi mulai menjadi informasi hangat di kampung mayoritas bersuku Kaili. Ina
pun tak tinggal diam, ingin tahu siapakah orang itu. Selepas beberapa langkah
Ina meninggalkan rumahnya menuju pantai dengan jalanan mulai lengang, tiga
orang pria lewat melintas di depannya. Ina cukup tahu betul, pekerjaan mereka
bertiga.
“Mau kemana”
teriak Ina kepada tiga pria tersebut.
“Ina tidak tahu
beritanya? Tidak lihat tadi ada mobil putih lewat” tanya balik salah satu pria
bertubuh legam ke Ina.
“Makanya saya
tanya, itu keluarganya siapa” balas Ina kembali dengan rasa penasarannya.
“Ada kedukaan di
pantai, Kantu meninggal subuh tadi di Rumah sakit Anuntaloko”
“Innalillahi wa
inna ilaihi rojiun”, seketika kalimat itu keluar dari mulut Ina, gemetar tubuhnya
tak mampu lagi terbendung.
Air matanya
kini tak lagi terasa menetes di kiri dan kanan pipinya. Teringat wanita pembeli
kerang langganannya sejak 7 tahun lalu. Wanita yang selalu terlintas pertama
kali untuk membantunya jika Ina membutuhkan pinjaman dan dikembalikan
semampunya tanpa perlu memotong hasil kerang jualannya. Bahkan dari wanita
tersebut, setiap ons hasil kerangnya selalu diperhitungkan berdasarkan hasil
timbangan. Dan ketika hari raya tiba, bungkusan sembako pun selalu diperoleh.
“Ya Allah, mengapa orang baik selalu pergi lebih dahulu” miris Ina dalam hati.
Penghormatan terakhir
Segopoh-gopoh
langkah Ina kini terarah ke rumah duka. Dibenaknya, segala kebaikan dan
keikhlasan wanita itu terpampang jelas diingatan. Tidak peduli seberapa deras
air mata membasahi pipi Ina yang gempal. Wanita tersebut memang bukan
keluarganya, tetapi dari beliau, Ina belajar banyak akan kejujuran dan
keikhlasan kodrat sang pencipta, bukan hanya hubungan antara penjual dan
pembeli.
Pekat malam pun
menghampiri, segala proses persiapan jenazah untuk dimakamkan sudah selesai.
Dari barisan berjarak 7 meter di depan liang kubur, Ina melihat wanita itu untuk
terakhir kalinya terbungkus kain kafan putih. Seketika, doa terbaik terpanjatkan
sebagai penghormatan terakhir. Ina selalu ingat, percakapan mereka diawal jumpa
7 tahun silam.
Kita hidup, tidak bisa memilih, mau dilahirkan dikeluarga nelayan, petani, orang miskin atau orang kaya sekalian. Itu sudah ada yang atur. Tinggal kita sebagai wanita, bagaimana agar rumah tangga kita jaga bersama suami agar tetap nyaman dan betah buat penghuninya begitupun juga buat pendidikan anak. Karena hari ini, kita memang tidak pernah tahu, pendidikan anak kita kelaknya akan membawa mereka menjadi apa. Tapi yang pasti, pendidikan akan merubah nasib kita saat ini menjadi lebih baik, cepat atau lambat
Kalimat ini,
akan menjadi motivasi Ina untuk tetap kerja sebagai pencari kerang demi kelanjutan pendidikan
anak-anaknya. Sekaligus kalimat peneguh hatinya dan penghormatan terbaik
semampu Ina lakukan kepada wanita tersebut dengan menggenggam erat makna kehidupan
yang terkandung dari setiap bait demi baitnya.
Dermaga di pesisir pantai |
#Ditulis dari atas ketinggian 36.000 kaki di atas permukaan laut.
With all my respect for Ina & Kantu too..
ReplyDeleteThanks kak Tuty
DeleteArtikelnya bagus, quotenya tentang pendidikan benar-benar jleb. Karena memang pendidikan, salah satu cara yang bisa merubah 'nasib."
ReplyDeleteKalau bisa ditambahkan foto tentang orang dan juga hutan mangrove-nya mas Taumy.
Siap Kak Ris. Sepertinya jadwal kunjungan berikutnya bakal foto orangnya.
DeleteMenarik mas..
ReplyDeletePengen blajar jg nih nulis tentang human interest..
Siap. Kita sama-sama belajar yuk.
Deletekeren bang tulisannya! quotenya juga!
ReplyDeletesalut untuk perjuangan Ina & kebaikan hati Kantu..
Sama-sama kak Lisa. Semoga bermanfaat tulisannya.
Delete