Langit sudah tidak sebiru pagi tadi, saat sepeda motor
hasil penyewaan di Karangasem pagi ini melaju melintasi Wongsorejo menuju Baluran Banyuwangi. Sesekali,
aspal jalanan tampak lembap berganti kering. Di jalur yang dilintasi, atap
rumah warga masih menyisakan tetesan air
yang tak seberapa, membekas di tanah lembab dengan sedikit genangan di permukaannya.
Udara panas, seakan menjauh terhempas angin, meskipun waktu menunjukkan pukul
12.45 siang.
Belum 10 menit berlalu meninggalkan Curahuser, bunyi
mesin sepeda motor beradu dengan bunyi air mengenai helm. Mawas terahlikan ke depan,
untuk memastikan, apakah hanya sesaat atau menyeluruh. Langit pun sontak
menjadi kelabu. Jarak pandang mulai terbatas,
akibat derasnya aliran air di kaca helm. Tak ada pilihan, selain berteduh,
lengkap bersama jas plastik transparan yang sudah membalut badan. Dia tidak
mampu lagi menahan gempuran air dari langit, dan sekarang motor pun benar-benar
berhenti sempurna, didepan kios penjual alat pancing. Kami pun berdua berlari
meneduh di bawah atap kios, setelah memastikan mesin motor berhenti sempurna. Perjalanan pun terhenti sementara menuju Baluran Banyuwangi.
“November Rain”, kali ini ditemani rintiknya aku mengingat lagu itu. Lagu karya Guns N Roses yang sempat hits tahun 90’an sekaligus peraih MTV tahun 1992. Air dari langit pun semakin deras, kami menanti reda diselingi bincang ringan dengan sesama para peneduh lainnya.
Sepuluh menit berlalu, belum ada pertanda derasnya air ini
akan berkurang. Beberapa onggokan sisa aktivitas pasar sudah mulai terurai oleh
terpaan aliran air di permukaan tanah dan aspal. Berpindah dari tumpukan
menggunung menuju muara aliran air akan berhenti. Tidak banyak kendaraan
berlalu lalang, hanya beberapa pengendara motor yang nekat tanpa menggunakan
jas pelindung sebagai pencegah tubuh
tidak basah.
“Lif titip dompet ya” teman perjalanan ku segera menyerahkan dompet kulit berwarna coklat dan segera ku letakkan di kantung kiri bagian belakang celana, bersebelahan dengan dompet ku.
Lima belas menit berlalu, masih sama. Sekarang, tumpukan
onggokan itu sudah nyaris tak bersisa lagi, sudah benar-benar terhambur di
permukaan tanah beraspal. Warna-warninya menghiasi permukaan jalan yang tadinya
berwarna hitam legam. Perbincangan pun sudah mulai beralih tentang ketidak
menentuan musim. Kini siklus harian sulit untuk diprediksi bagi masyarakat
awam. Syukurlah, sekitar 22 menit berlalu, perlahan tapi pasti derasnya air
sudah melambat. Hanya menyisakan rintik dengan intensitas tak seberapa.
Gerbang Baluran Banyuwangi |
Inilah saat tepat untuk melanjutkan perjalanan menuju Sabana Bekol, menerabas
lembapnya aspal jalanan. Mengatur kecepatan motor agar tetap dalam kendali, dan
masih menggunakan jas plastik berwarna. Di ujung langit sana, batasnya sudah
mulai jelas. Setidaknya harapan untuk menikmati tujuan travelling kali ini masih ada.
Akses Menuju Baluran Banyuwangi
Gerbang selamat datang berwarna hijau menyambut hangat. Di
depannya, simbol taman Nasional berlatar gunung dan kerbau pun ingin berkata
bahwa tujuan sudah semakin dekat. Sepintas terlewati tulisan, “Alam bersahabat dengan yang ramah padanya”.
Kalimat sederhana dengan makna tersirat luar biasa penting. Kalimat edukasi,
nasehat dan sekaligus perintah untuk bersahabat dengan alam. Kalimat ini
terngiang hingga tempat pembelian tiket.
Selepas membeli tiket masuk, perjalanan berlanjut lagi. Jalan
bebatuan dengan rangkulan pohon mengapit sekarang menggantikan posisi jalan
aspal hitam pekat. Di sisi kiri dan kanan jalan tampak dengan jelas, jalur
khusus bertanah liat seakan memberikan instruksi bahwa kendaraan bermotor
sebaiknya melintasinya, untuk menghindari ketidak-beraturan kerikil di sisi
tengah jalan tanpa aspal. Tidak mudah memang untuk melintasi jalan ini,
kecepatan 10 dan 20 kilometer per jam menjadi standar acuan untuk mengurangi
getaran berlebih dari jok motor. Dampaknya, perjalanan sepanjang 10 kilometer
ditempuh lebih dari setengah jam sebelum pemandangan jalan berganti.
Sabana Bekol-Taman Nasional Baluran Banyuwangi |
Keindahan Baluran Banyuwangi
Seketika mata terbelalak, padang rumput nan luas
terhampar di kiri jalan. Musim penghujan membuat rumputnya menghijau, bukan
lagi kuning kering. Bekol, begitulah nama dari Sabana ini menjadi bagian dari Baluran Banyuwangi. Sangat jelas
tertulis di papan nama di kanan jalan, ketika pemandangan itu berganti.
Bilah-bilah papan, mencetaknya dengan jelas, sebagai penanda selamat datang.
Di salah satu sudut, pohon sempurna berdiri sendiri,
peneduh di tengah sabana nan menghijau. Tidak jauh dari pohon itu, ada semak
belukar membentuk kolam lumpur hitam pekat. Dari situ lah sesekali binatang
bertanduk sepasang purnama berhadapan mulai bermunculan. Begitulah kesan
pertama sebelum motor diparkirkan.
Sabana yang menghijau-Taman Nasional Baluran |
Rasanya tidak ingin membuang-buang waktu atas penawaran panorama
di depan mata akan keindahan Sabana Bekol. Setelah peregangan kecil, kaki sudah teralihkan begitupun dengan
tatapan mataku dengan mantab tertuju ke sepasang tiang vertikal beratapkan daun.
Di bawahnya, sejumlah tengkorak kepala banteng bergantungan. Tampak
rongga-rongga kosong disekitar tengkorak, menandakan tuanya umur tengkorak.
Tidak muncul rasa ngeri melihatnya, bahkan keberadaan tengkorak ini menjadi
penyempurna daya Tarik Sabana Bekol.
Tengkorak Kepala Banteng di Sabana Bekol |
“Sore menawan” ungkapku dalam hati meskipun langit berwarna kelabu. Malah, nuansa ini memberikan pengalaman berbeda. Batas warna mempesona, antara langit, sabana dan gunung Baluran di belakangnya. Tak berhenti disitu, pesona itu terus berlanjut, dari balik gundukan tanah di depanku, secara perlahan, sekawanan kijang keluar dari peraduannya. Tanpa perlu adanya komando, mereka terus bergerak bergerombol.
Mungkin benar adanya, julukan itu “little Africa”. Dari
sini nuansa Afrika terasa dengan kental, dari hamparan sabana hingga liarnya
kehidupan flora dan faunanya. Tak ada lagi, hutan beton seperti setiap hari
kutemui di Ibukota. Sekarang benar-benar padang rumput nan luas. Semua sudah
terbayarkan dengan panorama yang terhampar di depan mata. Hingga sore datang
menyapa, kami harus segera beranjak, meninggalkan sabana sesegera mungkin.
Langit pun kembali kelabu, sudah saatnya berpisah dengan Sabana Bekol yang mempesona. Perjalanan kali ini menyisahkan memori indah, meskipun langit tampak kelabu. Semoga suatu saat nanti, bisa kembali ke Bekol dimusim yang berbeda.
Panorama yang ditawarkan di Taman Nasional Baluran Banyuwangi |
Walaupun belum pernah ke Afrika. Tulisan kakak sukses membuat saya pengen banget ke 'Little Afrika' mode on dan membayangkan Bagaimana eksotisnya savana di Afrika sana....
ReplyDeleteTerimakasih sudah mampir kak. Sabana Bekol memang punya daya tarik tersendiri disetiap musimnya. Ingin coba di musim kemarau
DeleteWalaupun belum pernah ke Afrika. Tulisan kakak sukses membuat saya pengen banget ke 'Little Afrika' mode on dan membayangkan Bagaimana eksotisnya savana di Afrika sana....
ReplyDeleteCerita perjalanan yang dituturkan dengan gaya bahasa yang menarik. Saya seketika seperti langsung terhisap dan berada di Taman Baluran ini.
ReplyDeleteTerimakasih kak Maria. Jika kesini jangan lupa dengan kondisi fit ya.
DeleteNice story mas, meskipun bagi saya endingnya agak antiklimaks.. 😂😂✌️🏽
ReplyDeletePesan yg saya tangkep dari cerita ini adalah:
1. Jangan naruh 2 dompet di saku belakang celana
2. Jangan lupa pake aplikasi fintech seperti Digibank
Sekarang ini yg penting bukan hanya kartu cashless, tapi juga cashless lewat aplikasi smartphone.. 👌🏼
Pesannya tertangkap dengan baik. Terimakasih kak Deny sudah mampir
DeleteMenaruh telur di banyak keranjang memang sangat bermanfaat buat jaga-jaga klo keranjang yang satu ga ada, bisa menggunakan keranjang yang lain. Eh kok jadi ngomongin keranjang telur, wkwkk
ReplyDeleteHahaha. Kak Maya menggunakan perumpamaan, semoga yang baca paham 😀
DeleteSabana dan juga faunanya di Baluran memang serasa di Afrika.
ReplyDeleteBTW, kalimat puitisnya jangan terlalu banyak lah. Pusing awak ini bacanya...
Yang berlebihan itu tidak baik lho, wkwkwkwk...
Hahaha...Sabar ya, yang penting pesannya masuk 😀
DeleteGa kebayang keilangan dompet di perjalanan seeprti itu bang. Untung ada solusinya yaaa. Selama ini sih aku juga selalu ngandalin uang tunai dan kartu ATM. Jadi ngebayangin kalo kondisi itu ada di aku. Paling opsi terakhir jual barang atau ngamen hahahaa
ReplyDeleteIya kak. Makanya sekarang, aplikasi seperti ini sangat membantu
DeleteCongratulation sudah menjadi Pemenang Blog Kompetisi Digibank - AT Caravan Kota Jakarta dan Jogjakarta
ReplyDeleteTerima kasih, tapi saya malah tidak tahu informasinya.
DeleteItu apa benar kehilangan dompet secara bersamaan begitu wkwk. Asik sih cerita perjalanannya jadi kepingin coba hehe.
ReplyDeleteAda sedikit modifikasi kak diakhir cerita. Siip, semoga bisa ke Bekol dengan segera.
DeleteMasyaaAllah kern banget min. Dari kemarin padahal saya tuh nungguin banget karena renca nya emang mau ke temat ini. Cuma akhirnya saya jadi berangkat ke Sri Lanka bareng keluarga. Next deh hehehe Thanks infornya
ReplyDelete