“Bukankah rejeki itu sudah ada yang atur? Seperti di Car Free Day ini, rejeki saya sudah ada di sepanjang jalan dengan keliling berjualan kerajinan Tali Soh.” Ungkap pria yang berdiri didepan saya dengan semangat, sambil sesekali melihat sekitar tanpa perlu menjajakan kerajinannya.
Bertemunya kaum urban dan pencari rejeki
Iya, Car Free Day Jakarta. merupakan tempat dimana berkumpulnya para kaum urban dan para pencari rejeki. Jika kaum urban yang datang kesini, umumnya untuk olahraga demi mengeluarkan keringat, berbeda halnya dengan mereka para pencari rejeki. Mereka datang dan berharap demi lembaran rupiah yang mereka harapkan. Beberapa kuliner, barang penunjang olahraga hingga jasa sewa alat semua tersedia di Car Free Day Jakarta. Hingga aku secara tidak sengaja dipertemukan dengan sesosok pedagang dengan barang dagangan yang unik.Pria yang selanjutnya saya kenal sebagai Pak Sukiman ini terlahir 11 tahun sebelum Indonesia merdeka. Keriput diwajahnya, serta putih rambutnya tak menyurutkan niatnya untuk keliling membawa dagangan, dengan kereta dorong modifikasi lipat buatannya. Suaranya masih lantang dan sangat jelas terdengar, meskipun umurnya sudah 83 tahun. Usianya memang tak lagi muda, tetapi semangatnya, selantang koar tentara dizamannya, meskipun memang beliau tidak lulus Sekolah Rakyat (SR).
Baca juga: Ina Sang Pencari Kerang
Sosok Pak Sukiman |
Mengais rezeki dengan tali soh
Awalnya beliau datang di Jakarta
bersama istri pada tahun 1958 dan bekerja di kantor Asuransi kawasan
Cokroaminoto hingga pensiun dan memutuskan membuat kerajinan. Di kereta
dagangannya, sudah bergantungan pilinan tali strapping warna-warni saling menyilang, berbaris menjuntai,
diatasnya tertulis, “Dijual Seni Kerajinan Unik dan Antik, Jakarta-Langka”,
yang membuat sesekali penikmat car freeday berhenti sejenak, sambil melihat-lihat kerajinan apakah gerangan yang
dimaksud. Satu-dua orang mampir, satu-dua itu pula barang terpajang laris
dibeli.
“Ini namanya kerajinan Soh mas”, celoteh beliau ketika selesai melayani pembeli.
“Soh” sendiri dalam bahasa Jawa
berarti tali sapu, dan dari sini lah kerajinan tali soh itu berkembang. Teknik
yang beliau dapatkan ketika belajar di SR dahulu, ternyata bisa menghasilkan
kerajinan bernilai jual hanya dengan memanfaatkan tali strapping yang dibuang dari toko bangunan. Tidak butuh modal besar
untuk membuatnya, karena semuanya berasal dari barang yang sudah tidak terpakai
lagi.
Kerajinan Soh |
Dari tangan beliau lah, muncul produk unik berbentuk ketupat, persegi dan
rantai yang semuanya berasal dari tali strapping.
Cara membuatnya pun gampang, cukup dengan membelah dua tali strapping kemudian disusun saling
menyilang beda warna, hingga akhirnya dipilin menyesuaikan bentuk yang kita
inginkan.
“Terus kenapa dijualnya di car free day pak, kan acaranya cuma ada setiap akhir pekan?” selidik saya lebih mendalam.
“Oh. Kalau jualan di car free day, itu enak, saya tidak perlu teriak-teriak panggil pembeli, cukup melihat tulisan diatas. Nah, disini juga saya bisa sambil refreshing. Saya itu suka jalan orangnya” jawab beliau dengan sungguh-sungguh dan lagi-lagi dengan suara lantangnya yang jelas.
Sontak jawaban ini, membuatku
tersenyum. Lagi-lagi saya teringat trend
anak muda sekarang, menghabiskan banyak uang hanya untuk sekedar menikmati
kegiatan bernama “refreshing”. Hal
ini kontra dengan beliau tunjukkan, bagaimana menghasilkan uang sekaligus
menikmati refreshing, sesederhana
itu. Suatu teguran luar biasa, sekaligus sosok yang patut untuk diteladani.
Tidak hanya meneladani kesederhanaan beliau, tetapi juga semangat beliau untuk
tetap mencari rejeki demi menghidupi istri, anak serta cucunya diumur yang
hampir seabad.
Sebuah renungan
Bagi beliau, Jakarta memang tempat
asyik untuk dinikmati semenjak pertama kali datang, bahkan masih jelas terekam
ucapan sederhana, “jangan pernah mengeluh tentang banjir dan macet, karena
semua hal tersebut kita sendiri yang ciptakan begitupun dengan
perubahan-perubahan lainnya. Sama seperti rejeki, selagi kita memiliki tenaga
dan kemampuan, jangan pernah mengeluh mengapa rejeki tidak menghampiri kita,
karena percayalah, rejeki sudah ada yang atur, tinggal bagaimana kita mengais
dan mengumpulkannya dalam setiap usaha terbaik kita”.
Benarlah adanya, tidak ada usaha
terdustai hasil dan tidak ada rejeki yang didapatkan tanpa adanya usaha. Sama
seperti beliau, yang tetap semangat menghadapi masa senjanya dalam hiruk pikuk
perubahan Jakarta tanpa perlu mengharapkan uluran tangan orang lain. Dari beliau kita belajar bahwa, sejatinya setiap rejeki sudah ada caranya masing-masing untuk diraih, yang penting dengan cara halal.
Keren mas tulisan nya. Terlebih tentang rezeki dan tiada usaha yang terdustai hasil.
ReplyDeleteIya. Bener. Banyak belajar memang kita dari orang tua.
Deletewah pencerahan banget mas artikelnta
ReplyDeleteTerima kasih kak.
DeleteUsaha dan kerja keras memang tidak pernah mengkhianati hasil..
ReplyDeleteSalut sama perjuangan Pak Sukiman yang menampar anak-anak muda yang suka menghamburkan uang untuk refreshing, sementara beliau bisa mengumpulkan uang sambil refreshing..
Bener sekali, apalagi dengan melihat umur beliau jadi tambah motivasi buat kita anak muda
DeletePak Sukiman kreatif banget yah. Keren matchingin warna kerajinan tali soh nya. Terima kasih buat pembelajaran hidupnya , Kak Taumy.
ReplyDeleteSama2 kak.
DeleteHebat Pak Sukiman, walaupun usianya sudah 83 tahun, masih tetap bisa berkarya secara kreatif.
ReplyDeleteIya. Jadi pembelajaran hidup malah
Delete