Seketika ruangan jadi hening. Suara sayu terdengar dari microphone, mendayu begitu mendalam. Ruangan berisi para finalis ini, sontak berubah. Sekarang semua mata benar-benar tertuju pada sosok wanita yang ada di depan. Memakai baju khas Minangkabau. Lengkap dengan aksesoris menyerupai rumah gadang. Sesekali, beliau mengusap air mata yang jatuh dengan tissue putih.
“Sedih sekali rasanya melihat hutan terbakar, baik di Riau maupun di Kalimantan. Meskipun kami sebagai petani, di pesisir selatan Sumatera Barat. Alhamdulillah, kami selalu berusaha hutan tetap terjaga hingga hari ini. Jika ada yang berani bakar, sebagai Bundo Kandung Nagari, tidak akan aku biarkan, akan aku kejar pelakunya. Kemanapun perginya” seru Ibu Sri Tati yang masih mengusap air matanya mengenang perjuangannya untuk menjaga hutan tetap lestari.
Sebagai WALHI Champion dari Sumatera Barat yang aktif dalam program Pengelolaan Hutan untuk Kesejahteraan Perempuan ternyata berhasil menjaga hutan dan memanfaatkan daging buah pala untuk diolah menjadi selai, sirup dan minuman segar buah pala. Sebuah program yang benar-benar berusaha memanfaatkan hutan dengan baik dan para perempuan sebagai penggeraknya. Meskipun kebakaran hutan menjadi tantangannya. Saat ini produk yang dihasilkan sudah dijual ke beberapa tempat, salah satunya ke Hotel Bumi Minang, sebagai welcome drink yang biasa tamu hotel minum ketika check in.
Ibu Sri Tati (WALHI Champion dari Sumatera Barat) |
Menjaga hutan adalah usaha bersama agar tidak menjadi rima terakhir
Bagi masyarakat adat, hutan bukan hanya dianggap sebagai onggokan pohon saja tetapi hutan adalah satu kesatuan yang beragam bukan seragam. Jika di kota mengenal supermarket dan apotek, masyarakat adat pun memanfaatkan hutan sebagai supermarket alami untuk memenuhi kebutuhan hidup begitupun juga apotek keluarga. Dari hutan, berbagai tanaman obat bisa dimanfaatkan untuk kesembuhan penyakit.
Keberadaan hutan dimana adanya keanekaragaman flora, fauna, pangan, bahkan obat serta kebudayaan akan menjadi identitas masyarakat setempat. Semua hal tersebut harus dilindungi dan dilestarikan, dimulai dari peran perempuan.
Kedudukan perempuan sebagai penjaga hutan bukan hanya sebagai pengelola dan memanfaatkan hutan. Tetapi, lebih dari itu. Perempuan berperan sebagai penjaga identitas dan nilai-nilai hidup yang berasal dari hutan. Dengan begitu maka pangan keluarga akan terjaga dengan baik dan hutan akan lestari.
Jika hutan terbakar, akan menghilangkan sumber pangan yang lama kelamaan memutus rantai supply pangan ke kota. Apalagi selama ini, sekolah alam perempuan adalah hutan. Jika hutan terbakar, maka pengetahuan tersebut akan hilang dan masyarakat adat pun juga hilang. Sehingga sangat pentingn untuk menjaga hutan tetap lestari.
Menurut Ibu Khalisa Khalid sebagai Perwakilan dari Eksekutif Nasional WALHI, bahwa warga yang tinggal diperkotaan, bisa juga turut andil dalam menjaga huta. Salah satu caranya adalah bijak dalam mengkonsumsi produk. Gunakanlah produk berdasarkan kebutuhan bukan kemauan. Dengan begitu, maka proses monokultur dari hutan akan berlangsung lambat dan lama kelamaan tidak memberikan keuntungan berlebih bagi para pebisnis monokultur. Selain itu pula, warga perkotaan sebaiknya mengkonsumsi dan menggunakan apa yang hutan hasilkan melalui komunitas adat hutan.
Perjuangan mengelola hutan
Jauh dari ibukota Indonesia, sebuah daerah bernama Kolaka di Sulawesi Tenggara ternyata terdapat masyarakat yang sudah lama bergerak untuk memperjuangkan pengelolaan hutan. Adalah Ibu Tresna Usman Kamaruddin sebagai penggeraknya yang akrab disapa mba Tresna.
Banyaknya pemuda yang bekerja sebagai petani tanpa memiliki lahan hingga sulitnya melihat pohon sagu menjadi latar belakang perjuangan untuk mengelola hutan. Padahal, dahulu sagu menjadi pangan andalan dari hutan.
Baca juga: Jalan Hijau sebagai Gaya Hidup
Baca juga: Jalan Hijau sebagai Gaya Hidup
Salah satu gerakan nyata untuk mengelola hutan adalah gerakan penanaman pohon sagu. Bagi masyarakat Kolaka, sagu bukan hanya pangan tetapi memiliki nilai kearifan lokal. Dari sagu lah, berbagai jenis makanan bisa dibuat. Bahkan gerakan ini menghidupkan kembali cemilan yang sudah lama punah berbahan dasar sagu. Cemilan ini bernama cakko cakko. Proses pembuatannya dengan mencampurkan sagu dan gula kemudian digoreng untuk menciptakan cita rasa gurih nan manis.
Dari bahan hutan menuju cita rasa Kota
Jika selama ini, masyarakat kota cenderung menggunakan bahan yang mudah didapatkan untuk membuat masakan ternyata tidak kalah dengan bahan dari hutan. Salah satunya adalah jamur yang bisa digunakan untuk menggantikan cita rasa daging pada menu ‘Fettucine Mushroom Ragu’ oleh Chef handal William Gozali yang akrab disapa WilGoz.
Bukan hanya memperkenalkan jamur dalam menunya, tetapi WilGoz juga memberikan kesempatan kepada setiap peserta yang hadir untuk memasak langsung menu dari jamur ini.
Hasil akhirnya, benar-benar memanjakan lidah. Cita rasa dari jamur memang bisa menggantikan daging. Hal ini membuktikan bahwa bahan dari hutan bisa menghasilkan cita rasa menu kota.
“Jangan biarkan kami menjadi rimba terakhir”
Merasakan asap kabut akibat hutan terbakar, banjir bandang akibat pembalakan liar, hingga monokultur demi kepentingan bisnis adalah bencana bagi hutan yang patut untuk diperjuangkan agar tidak terjadi lagi.
Pengelolaan hutan berbasis kearifan lokal dengan memberdayakan masyarakat adat, hingga bijak dalam menggunakan produk yang dibutuhkan adalah salah satu cara untuk menjaga kelestarian hutan. Seperti yang selama ini WALHI perjuangkan melalui WKR, Wilayah Kelola Rakyat. Sebuah sistem pengelolaan hutan yang lebih adil dan dikelola langsung oleh masyarakat agar bisa dimanfaatkan dengan baik.
Memilih masyarakat adat dalam mengelola hutan serta melibatkan peran perempuan sebagai guardiant pelindung hutan adalah bentuk nyata dari aplikasi program WKR. Dengan begitu, maka tidak akan ada lagi bisikan dari hutan, ‘jangan biarkan kami menjadi rimba terakhir’ karena hutan dilindungi dan dikelola dengan baik demi terpenuhinya pangan masyarakat. Salam adil dan lestari.
Para pemateri bersama 30 finalis blogger forest cuisine |
ikut terhanyut saat ibu tati menangis sedih melihat hutan yang rusak. semoga hutan kita tetap terjaga kelestariannya demi anak cucu di masa mendatang
ReplyDeleteAamiin. Iya nih. Bener sekali, hutan kita harus tetap lestari
DeleteSedih bacanya, semoga kesadaran menjaga lingkungan makin meningkat aamiin
ReplyDeleteAamiin. Dimulai dari kita sih, agar kelak anak cucu kita masih bisa melihat hutan
DeleteSuka jengkel juga dengan orang yang tebang hutan dan bakar hutan. Semoga tidak ada lagi hal itu terjadi
ReplyDelete