Kabut masih menyelimuti jalan depan rumah. Sesekali angin semilir, membawa dingin yang menusuk tulang. Dari ufuk timur, berkas lazuardi perlahan nampak. Ine dengan raut keriput, kulit beliau berwarna hitam legam, tergopoh-gopoh menuju dapur. Dibukanya gentong dan mengambil 2 gayung air kemudian menuangnya kedalam teko aluminium yang kilapnya sudah memudar. Sesaat kemudian, asap perlahan mengepul, nyala api sekarang tinggal menunggu waktu untuk membuat panas, air dalam teko.
“Uto, bangun. Maria bangun. Ini sudah pagi. Ayo persiapan berangkat sekolah. Jangan lupa, Uto ambil air di pancoran Muring. Maria, bantu Ine masak disini” terdengar dengan samar teriakkan Ine membangunkanku dan adik laki-lakiku, Uto. Ine dalam bahasa manggar berarti Ibu.
Seperti rutinitas biasa, aku pun bergegas ke dapur membantu Ine mempersiapkan sarapan pagi dan perbekalan. Dari balik celah dinding anyaman bambu, aku melihat Uto bergegas membawa 5 buah jerrycan untuk diisi dengan air dipancoran Muring.
Bulan ini adalah musim panen, meskipun air sangat terbatas bukan berarti proses tanam padi di kaki bukit membentuk terasering tidak berhasil. Bagi kami warga Bea Muring, air dan listrik adalah dua kendala utama yang setiap hari menghantui. Tetapi, kami bersyukur masih bisa hidup dan bertahan hingga hari ini. Melalui hasil perkebunan lainnya, yaitu cengkeh.
Pukul 06.00 WITA, selesai mandi dan sarapan. Aku bergegas ke pinggir jalan depan rumah. Seperti biasa, menumpangi Colt kayu, kendaraan yang akan mengantarkanku ke sekolah SMA di kampung atas. Berjarak tempuh 30 menit perjalanan jika lancar dan jalanan tidak longsor. Sebenarnya, jika menggunakan motor waktu tempuhnya hanya 10 menit. Tetapi bagi keluarga kami, motor adalah barang yang sangat mewah. Sejak SD hingga SMA seperti sekarang, di rumah hanya ada radio baterai sebagai barang termewah yang ayah beli di pasar Ruteng.
“Maria, jangan lupa mampir beli kapur dan daun sirih untuk persiapan tari caci”. Teriak Ine, sebelum akhirnya Colt kayu tiba.
“Baik, Ine” aku pun bergegas naik Colt Kayu dari belakang. Mengangkat sedikit rok seragam sekolah dan lompat masuk ke dalam Colt kayu. Beberapa Ine - Ine lainnya yang sudah ada didalam Colt kayu, geleng-geleng kepala melihat caraku naik kendaraan ini. Bagi mereka, hanya laki-lakilah yang biasa naik dengan cara tersebut.
Maklum, desa ini memang hanya memandang laki-laki dan perempuan berdasarkan kodratnya, sehingga sadar gender sangat jauh dari harapan. Tetapi, aku selalu tidak peduli tentang hal ini, selama tidak mengganggu pikiran dan keinginanku. Meskipun sering menjadi bahan perbincangan warga desa.
Kini, Colt Diesel melaju pelan, menembus jalanan berbatu dengan aspal seadanya. Bahkan lebih banyak jalanan rusak dibanding jalanan beraspal. Pepohonan dan bukit sudah menjadi sahabat perjalanan yang selalu dijumpai sepanjang jalan. Begitupun aliran sungai di sebelah kiri jalan, sebagai satu-satunya sungai yang melintasi desa ini.
Insiden Pesta Panen
Alunan tabuhan gendang dari microphone begitu menarik perhatian. Puluhan hingga ratusan warga sudah mulai memadati lapangan depan gereja. Dua kelompok pria, masing-masing terdiri 4 orang sudah siap menunjukkan kebolehannya. Mereka semua menggunakan pakaian khas dengan penutup kepala dari kulit sapi. Tangan kanan memegang cemeti, dan tangan kiri memegang tameng. Setiap kali mereka bergerak, maka terdengar suara gemercik dari lempengan bulat yang digantungkan dibelakang tubuh mereka. Tarian ini bernama Tarian Caci atau Cicaci.
Baca juga: Tali Soh
Tari caci |
Tarian Caci hanya diselenggarakan ketika musim panen tiba sebagai bentuk rasa syukur atas hasil panen. Semua penarinya adalah laki-laki. Mereka saling serang menggunakan cemeti dan bertahan menggunakan tameng. Tidak jarang, darah segar bermunculan dari tubuh mereka. Ketika darah ini keluar, maka langsung diobati menggunakan ramuan kapur dan daun sirih, agar tidak bertambah parah dan pendarahan akan berhenti seketika.
“Romo Elie, kenapa hanya laki-laki saja yang boleh ikut Tari caci, padahal semua pasti senang kalau ada perempuan yang ikut berpartisipasi dalam tarian ini” tanyaku kepada Romo Paroki Bea Muring, disela-sela menikmati Tarian Caci.
“Maria, Tari Caci ini penuh dengan gerakan fisik yang menguras tenaga. Coba kamu lihat itu, cemeti yang digunakan. Itu adalah simbol kekuatan seorang laki-laki. Begitupun juga dengan tameng sebagai simbol pertahanan jika ada yang menyerang. Dengan semua peralatan yang dimiliki, sudah sepantasnyalah Tari Caci dimainkan oleh laki-laki. Jika Maria ingin menari, belajarlah Tarian Lipa Songke yang gerakannya lemah lembut nan gemulai”
Aku pun terdiam mendengar penjelasan dari Romo. Mungkin ada benarnya juga. Jika Tarian Caci hanya untuk para laki-laki karena karakter kerasnya, begitupun dengan Tarian Lipa Songke hanya untuk perempuan dengan karakter lemah lembut.
Belum habis aku cerna semua analogi ini, tiba-tiba suara tabuhan gendang tidak terdengar dengan jelas. Alunan gendang yang awalnya nyaring sekarang tergantikan dengan suara gaduh dari penonton. Ternyata, ada masalah dengan microphone.
Tari Lipa Songke |
Ini insiden, jika tidak segera diatasi, maka pertunjukkan bisa langsung berhenti. Para penabuh gendang saling menatap, mereka bingung mengatasi hal ini. Apalagi ini adalah pesta panen. Jangan sampai ‘bala’ atau bencana datang menghampiri setelah ini.
Wakil kepala Desa yang biasa menjadi teknisi dadakan jika ada masalah dengan microphone, sekarang lagi berada di Labuan Bajo, ada agenda yang beliau tidak bisa tinggalkan. Aku pun inisiatif untuk cek sambungan microphone. Siapa tahu ada kabel penghubung yang putus dari sambungan generator bertenaga diesel dengan microphone.
Benar saja dugaanku, setelah menggunakan obeng dan membuka ujung microphone terdapat salah satu kabel yang putus. Aku mencoba melilitkan pisau untuk memotong lapisan pelindung kabel hingga muncul serat tembaganya. Kemudian aku sambungkan dengan panel berlambang positif sebelum bautnya aku kuatkan kembali. Sejatinya tidak membutuhkan tenaga yang kuat untuk menyelesaikan insiden ini. Meskipun bagi warga disini yang belum sadar gender, hanya beranggapan bahwa, cuma laki-laki saja yang bisa menyelesaikan masalah kelistrikan. Tetapi, kali ini tidak. Akhirnya selesai sempurna. Kini microphone sudah bisa digunakan kembali dan acara terus berlanjut. Tarian Caci ini akan dinikmati hingga 3 hari kedepan.
Salahkah, Jika Aku Memilih Teknik Elektro
Sejak insiden Tari Caci, aku pun sadar akan potensi yang aku miliki. Selama sekolah, aku memang sangat suka dengan mata pelajaran fisika khususnya tentang listrik. Apalagi, kelulusan ujian nasional yang berlangsung minggu kemarin, membuat aku yakin untuk memilih kuliah di jurusan teknik elektro. Hal ini rencana akan aku bicarakan dengan Ema (artinya ayah dalam bahasa manggarai) dan Ine malam nanti.
“Ema… Maria kan sudah lulus SMA. Maria berencana untuk kuliah dijurusan teknik elektro. Apakah boleh?” Aku pun langsung menundukkan kepala selepas menyampaikan hal ini.
“Maria…Apa yang kamu harapkan sehingga ingin kuliah di teknik elektro. Kampung kita ini, sejak dahulu hingga sekarang, para perempuan pasti memilih sekolah bidan atau perawat, agar kelak bisa mengabdi di puskesmas. Nah, ini…Maria, mau kuliah teknik elektro. Coba kamu lihat, anak Pak Yuki yang kuliah teknik di Ruteng, rambutnya gondrong dan suka merokok. Tetapi dia kan laki-laki, sedangkan Maria kan perempuan. Mana bisa Ema biarkan Maria menjadi seperti itu” jawaban Ema yang seakan tiba-tiba meruntuhkan harapanku.
“Ema… Memang benar, kalau perempuan disini kebanyakan lanjut sekolahnya sebagai bidan atau perawat. Tetapi, apakah kita juga harus memaksakan Maria untuk mengikuti jejak mereka. Padahal, Ema kan tahu kalau Maria memiliki bakat khusus dalam dunia listrik. Pas acara pesta panen, hanya Maria yang bisa menyelesaikan masalah microphone yang putus itu, jadinya acara tetap berlangsung. Mungkin pula suatu saat nanti, melalui tangan Maria lah, desa kita bisa menikmati listrik tanpa perlu pakai generator diesel. Lagian teknik elektro, pastinya tidak akan melihat apakah perempuan atau laki-laki yang kuliah disitu, yang penting bisa memenuhi syarat akademik. Maria kan hebat dalam Fisika. Ina yakin, Maria bisa masuk kuliah di jurusan teknik elektro” ucapan Ine yang tiba-tiba tidak terduga olehku sama sekali.
Perempuan dan pendidikan |
Dahulu, Ine selalu diam jika membahas hal pelik di keluarga, semuanya selalu mengandalkan keputusan Ema. Tetapi kali ini berbeda. Ine lah yang mendukungku. Bahkan Ine berani mengeluarkan pendapatnya.
Sekarang aku tersadar, ternyata tidak semua orang di kampung ini tidak sadar gender. Ine lah orang pertama yang mengerti dan memahami bahwa memilih jurusan ditingkat pendidikan lebih tinggi bukan masalah gender tetapi masalah kemampuan yang dimiliki. Karena Ine pula lah, akhirnya Ema luruh dan mengizinkan untuk kuliah di jurusan teknik elektro.
Suka sama ceritanya, Mba. Memang benar, wanita juga harus pintar, tapi tidak melawan kodratnya. Kepintaran wanita itu dipakai untuk hal-hal insidentil seperti yang Mba lakukan. Benerin listrik. Keren banget. Begitu juga untuk mengajarkan ilmu ke anak-anak kita ya, Mba. Biar mereka juga jadi pintar.
ReplyDeleteIya. Bener sekali, pendidikan tinggi adalah hak semua orang tanpa memandang kodrat.
DeleteMasa depan itu bukan perkara kodrat, tapi bakat. Duuuh mba, tulisanmu menyentuh banget. Hehehe. Terima kasih sudah berbagi. Aku jadi kepo ngintip tulisanmu yang lain. Keren kerennnnn.
ReplyDeleteTerima kasih ya. Lain kali kalau mampir, cukup panggil "mas" saja.
DeleteMas taumy, kak Maria itu kakak nya kah?
ReplyDeleteSuka sekali dengan semangatnya.
Aku pun karena masih kecilnya sering bergaul dengan ayah membuatku suka pekerjaan lelaki. Tapi ayah tidak pernah melarang.
Bukan. Maria adalah sosok yang kutemui ketika lagi berada di rumah papa angkat, Bea Muring.
DeleteDulu kukira hanya di daerah S dimanakah perempuan sebagian ebsar memilih mengambil pendidikan bidan/perawat ternyata banyak daerah di Indonesia demikian. Setuju, meskipun prinsipku "ambillah ilmu yang bisa mendukungmu menjadi seorang ibu" tapi aku mendukung soal perempuan berhak memilih jurusan apa saja tergantung passion Dan rencana ke depan.
ReplyDeleteSepertinya memang, beberapa daerah Indonesia Tengah dan Timur, perawat jadi impian "wajib" keluarga yang menjanjikan, padahal masih banyak pekerjaan lain yang bisa digeluti.
DeleteSaya baru tau soal tari caci ini, Mas Taumy. Dan saya suka sekali cara beceritanya dari sudut tokoh Aku si Maria. Dan pesan moralnya sangat kuat pas di hari kartini ini. Jangan terbelenggu dengan kodrat, yang akhirnya membatasi pekerjaan. Padahal mereka mampu. Jadi lewat Maria, Bea Muring akan berkembang dan akan hadir Maria-Maria yang lainnya.
ReplyDeleteTerima kasih mas Bambang. Bener sekali, kebetulan momennya pas jadi buat tulisan ini.
DeleteKeren ceritanya Kak, sayang sekali ya kalau ada bakat namun harus mengalah hanya karna soal gender. Beruntung Eni dan Ema berpikiran terbuka jadi terbukalah jalan buat Maria. Cocok banget fiksinya buat tema Ibu Kartini ya
ReplyDeleteIya kak. Bener, makanya kodrat seharusnya bukan jadi penghalang untuk lanjut pendidikan tinggi
DeleteSuka banget dengan cerita Maria ini. Tidak mudah menyerah dan memiliki semangat tinggi untuk mengenyam pendidikan. Apa jadinya jika wanita hanya boleh jadi bidan dan profesi serupa saja?
ReplyDeleteBtw, jadi tahu adat orang manggarai meski sedikit ya
Iya nih. Lumayan selama seminggu tinggal di keluarga angkat disana, jadi sedikit memahami akan budaya Manggarai dan filosofi hidup.
Deletemenginspirasi sekali nih tokoh cerita Maria pesannya dapet nih kak kebetulan ini hari Kartini.. mantul..banget..bisa pas ya hehe
ReplyDeleteIya nih. Kebetulan sekali. Hahaha
DeleteSemangat Maria dalam menjalani cita-citanya sangat menginspirasi, apalagi ditengah-tengah masyarakat yang selalu beranggapan pendidikan tinggi hanya untuk laki2.
ReplyDeleteBener. Padahal pendidikan tinggi adalah hak semua orang
DeleteCerita yang sungguh menginpirasi. Di luar jurusan apa yang dipilih perempuan layak untuk mengejar pendidikan. Jika ternyata talentanya di bidang yang biasa dijalani laki-laki kena tidak? Pasti akan makin berwarna bidang tersebut karena ada keterlibatan perempuan.
ReplyDeleteIya mba Dian sepakat.
DeleteWah baca ceritanya sangat menginspirasi, masa depan memang jadi hak masing-masing tapi tidaklah perlu membedakan kodrat ya Kak. Mau jurusan elektro, kimia, fisika, atau apapun penting yg disukai, tidak hanya melulu bidan or perawat seperti yg sudah-sudah. Skg kan zaman sudah maju juga.
ReplyDeleteBener kak, memang sekarang zaman sudah maju, tetapi majunya zaman tidak merata diberbagai pelosok Indonesia lainnya.
DeleteMenginspirasi kak ceritanya dan memberikan pandangan baik. Oleh sebab itu, menurutku sebagai orang tua kita perlu menstimulasi anak kita dengan berbagai hal. Dari situ nanti kita bisa mengamati kemana minat dan bakat anak kita berada. Kalau udah tahu kan tinggak sekolah penjurusan sesuai minat dan bakat anak kita nanti. Kasian kalau anak sekolah dan kerja nggak sesuai dengan passionnya nanti
ReplyDeleteBener sekali. Disitulah fungsi orang tua, mengarahkan.
DeleteMemilih pendidikan bukan tergantung kodrat. Selama perempuan masih sadar akan kodratnya kelak untuk menjadi istri dan ibu, sah-sah aja mengejar pendidikan dalam bidang apapun. Karena ilmu itu pasti berguna untuk meningkatkan pola pikir dan pengasuhan anak-anaknya kelak.
ReplyDeleteBener. Bahkan bisa menjadi contoh langsung buat anak kelak.
Deletebaca cerita inspiratif di masa masa memperingati hari kartini. aku juga banyak belajar dari orangtua ku. dulu aku banyak dilarang ini itu, tapi dengan aku membuktikan sesuatu, mereka dikit demi sedikit percayaa
ReplyDeleteNah, orang tua seperti ini sangat bagus. Mendukung minat anak.
DeleteSangat menginspirasi sekali sosok Maria ini. Memang benar kalau pendidikan tinggi itu ga hanya laki2 saja sih to perempuan juga. Jujur aja di kampung saya masih banyak yang berfikir kalau wanita itu ga perlu pendidikan tinggi karena ujung-ujungnya jadi ibu rumah tangga. .hmmm aku sendiri ga setuju dg pendapat itu.
ReplyDeleteIbu rumah tangga dengan lulusan S2 lebih keren loh. Jadi ilmunya bisa buat anaknya minimal.
DeleteBagus banget cerita k, inspiratif. Semoga para perempuan di luar sana bisa selalu menemukan minatnya dalam pendidikan.
ReplyDeleteAamiin. Insha Allah. Karena sejatinya, pendidikan adalah hak setiap orang.
DeleteIya bener, saya setuju banget. Siapapun harus berpikir maju tentang dirinya, mengeksplor kemampuan dirinya yang paling maksimal.
ReplyDeleteIya kak. Tanpa memandamg jenis kelamin.
Deleteiya nih
ReplyDeleteuntungnya ada Ibu Kartini, yang memerdekakan kita belajar, sekolah, dan penyetaraan hak yang sama dengan kaum laki-laki
semoga kita mampu meneladani sifat-sifat beliau, untuk mengejar pendidikan tinggi meski harus mendobrak dinding pertahanan adat dan kebiasaan
Iya kak. Dari RA Kartini, banyak hal yang bisa dipelajari.
Deleteperempuan juga perlu mendapatkan perhatian lebih dan kesetaraan juga, jangan sampai ada tumpang tindih dan pilih pilih, baik dalam bidang pekerjaan maupun pendidikan
ReplyDeleteBener sekali kak.
DeleteSetuju banget nih. Manusia sama sama kok derajatnya. Pria atau wanita bisa sama sama maju. Yang beda cuma fitrahnya aja dan karakternya. Tapi buat sukses jadi terdepan, siapapun bisa.
ReplyDeleteBtw lihat postingan ini jadi kangen jalan jalan. Semoga bisa segera kembali berkeliaran hehehe
Cerita yang sangat inspiratif dan keren Mas.
ReplyDeleteAq tertarik sekali dengan tarian Caci yang sejujurnya baru kali pertama ini aq tau lewat tulisan ini.
Mengenai isi cerita, memang terkadang miris bila pekerjaan dikotak-kotakkan dengan alasan gender ya. Semoga banyak orang tua yang menyadari kekeliruannya ini
Alhamdulillah berarti, pesan budaya, gender dan pendidikannya tersampaikan.
DeleteCerita nya menarik, terlebih diselipkan dengan nilai2 tradisional nya seperti tarian caci dan juga tarian lipa songke.
ReplyDeleteIya kak. Terima kasih sudah mampir.
DeleteSuka banget dengan ceritanya, pake colt pula ngebayangin seolah ikutan naik colt hihi. Masih ada ya yang membedakan perempuan dan laki2, semoga perempuan pun tak lupa kodratnya , ah ku baru tau ada tarian caci ini.
ReplyDeleteNah itu dia. Oh iya, tari caci ini memang jarang terdengar sih.
DeleteCerita yang inspiratif ya Mas. Kebetulan suami saya asli Riung NTT dekat Taman Laut. Saya mengalami rasanya tinggal tanpa listrik, mengandalkan pelita di waktu malam dan keterbatasan air. Sudah lama tak pulang kampung. Di Malang anak-anak NTT yang jadi bidan banyak banget. Semoga kedepan perempuan NTT lebih bersemangat menggapai cita-citanya ya? Amiin.
ReplyDeleteAamiin. Semoga pendidikan kita semakin maju juga.
Deleteperempuan harus tangguh karena banyak yang harus dibebankan dipundaknya
ReplyDeleteYes. Apalagi tangguh dalam mengejar pendidikan tinggi.
DeleteBtw, ini kisah nyata atau cerpen ya Mas/Mbak mengalir banget kayak cerpen? Duuh maaf saya belum kenalan ya. Jadi nggak tau mau manggis Mas Taumi atau Mbak Taumi 😅🙏🏻
ReplyDeleteBased on true story. Cukup panggil "mas" saja
DeleteDulu, di kampung saya juga keluarga saya masyarakat nya memiliki pandangan seperti itu. Perempuan di rumah saja. Urus kasur, dapur dan sumur. Tapi semakin lama, pemikiran semakin terbuka. Sekarang tidak nyinyir lagi saat perempuan ad yg jadi aktivis, memimpin demo, orasi naik bak terbuka dll. Perempuan itu saya orangnya
ReplyDeleteHahaha...
Wah keren mba Okti Li. Kapan2, bolehlah ditulis ceritanya juga.
DeleteTerharu jika ada laki-laki yang mendukung pemberdayaan perempuan terutama dalam pendidikan. NTT selalu menyimpan sejuta cerita inspirasi. Dengan segala keterbatasannya mereka justru semangat menggapai cita2
ReplyDeleteIya Teh Ani, benar sekali. Makanya, semangat pendidikan tinggi buat perempuan perlu digalakkan terus.
DeleteSuka dengan ceritanya. Ya semoga semakin banyak perempuan yang berpikiran maju seperti ini
ReplyDeleteAamiin. Terima kasih kak.
Deleteaku menikmati banget membaca untaian ceritanya ini, Ine itu sebutan untuk ibu bukan bang? Memperjuangkan mimpi dari minta bakat itu memang sesuatu ya
ReplyDelete